Melampaui Yang Privat: Wawancara dengan Rosa Verhoeve

This slideshow requires JavaScript.

“Kopi Susu” telah saya dengar sebelumnya pada saat berbincang-bincang dengan rekan fotografi dari Bandung, Sari Asih. Walaupun beliau tidak menceritakan secara jelas mengenai sang fotografer dan karyanya (atau mungkin saya hanya lupa) namun foto-fotonya masih membuat saya teringat jelas.

“Kopi Susu” memiliki imaji-imaji tentang tempat dan waktu yang familiar bagi seorang Indonesia. Imaji-imaji ini namun, diambil dengan cara pandang yang sedikit berbeda. Lanskap rural yang jauh dari hiruk pikuk, berbagai manusia yang muncul tanpa wajah, dan suasana-suasana komunal dihadirkan oleh Rosa Verhoeve tanpa cara pandang turis (tourist gaze), yang biasanya mendorong eksotisme dalam foto-foto tersebut.

Cara pandang ini juga yang membuat saya merasa bahwa pendekatan Rosa untuk merepresentasikan imajinasinya berhasil. Dan kita akhirnya mampu untuk melihat secara langsung hal-hal personal yang ia ingin tampilkan tanpa menyentuh apa yang ia sebut sebagai hal yang privat.

Untuk lebih mendapatkan penjelasan lebih lanjut tentang “Kopi Susu” dan Rosa sendiri, kami berhasil mewawancari beliau di tengah-tengah kondisinya yang sedang sakit keras. Wawancara ini kami hadirkan dalam bahasa Indonesia dan Inggris agar pembaca dapat mengetahui secara langsung apa yang ia maksud tanpa kehilangan makna.

“Kopi Susu” bisa Anda dapatkan di Unobtainium.

___

Ceritakan tentang bagiamana Anda memandang Indonesia dan masyarakatnya, sebelum, pada saat, dan setelah Anda memotret “Kopi Susu”?

Indonesia dan masyarakatnya telah menjadi bagian dari cerita di keluarga saya sejak dulu, beberapa bagiannya adalah misteri dan sebagian lain saya imajinasikan di pikiran saya sejak muda. Nenek saya adalah orang Indonesia, ibu saya lahir di Sukabumi, ayah saya tinggal selama 12 tahun di Jakarta dan kedua kakak perempuan saya lahir di Jakarta, tetapi saya tidak. Saya lahir di Belanda, di kota kecil gersang tak jauh dari Amsterdam yang bernama Amstelveen. Ini membuat saya tumbuh dengan berbagai cerita tentang negeri eksotis bernama Hindia Belanda yang kini dikenal sebagai Republik Indonesia.

Semua cerita ini menumbuhkan imajinasi dan keinginan saya untuk melihat Indonesia dengan mata saya sendiri. Keingintahuan saya untuk mengenal Indonesia dan masyarakatnya secara langsung adalah fondasi dari proyek “Kopi Susu”. Hal ini juga bisa dilihat pada pengantar di buku tersebut: “Dengan Kopi Susu saya ingin membuka nostalgia orang tua saya terhadap Hindia Belanda. Dengan mengambil pandangan dan pengalaman saya sebagai titik awal, saya secara sengaja tidak mau menelusuri akar Indo-Eropa saya.”

Di perjalanan pertama saya ke Indonesia pada tahun 90-an, saya merasa seperti orang asing atau turis. Saya tidak dapat berbahasa Indonesia, saya datang ke Indonesia dengan kekasih saya pada saat itu, dan hal ini membuat pengalaman saya sangat terbatas (saran saya: selalu lakukan perjalanan seorang diri!). Namun perjumpaan saya dengan seorang nenek yang mengenali saya sebagai seorang kopi susu atau blasteran, membuat saya merasa bangga, bahagia bahkan. Dengan kulit putih, rambut merah, dan mata hijau saya, saya ternyata masih memiliki tempat di negara moyang saya

Dua puluh tahun berikutnya, saya akhirnya memulai “Kopi Susu”(jangan tanyakan kenapa saya memulainya baru sekian lama). Pada saat ini, saya melakukan perjalanannya sendiri, saya mampu berbahasa Indonesia walaupun sedikit, dan tinggal banyak mungkin dengan teman-teman saya orang Indonesia. Saya juga mengajar fotografi kepada fotografer lokal. Dengan teman-teman Indonesia saya, saya berbicara tentang kehidupan, mimpi, harapan, dan ambisi mereka. Bersama dengan pengalaman itu, saya merasa lebih mengerti tentang Indonesia, dan Indonesia menjadi semakin dekat dengan saya.

Ketika saya pertama kali melihat imaji dalam Kopi Susu, saya langsung mengenali kepekaan seorang Eropa. Apakah Anda setuju tentang hal ini dan menurut Anda dari mana kepekaan ini berasal?

Karya-karya saya selalu memiliki kepekaan tersendiri. Mungkin ini berasal dari siapa saya atau karakter saya. Tumbuh di keluarga yang memiliki pengalaman dengan perang, kehilangan, dan kepedihan, membuat saya sedari muda memiliki sensitivitas untuk membaca perilaku dan suasana. Saya rasa ini juga telah membantu pekerjaan saya sebagai fotografer, karena saya selalu membaca lingkungan saya secara terus menerus

Selain itu, saya pikir saya dipengaruhi oleh berbagai film-film Eropa dan sutradaranya. Karya-karya dari Federico Fellini, Luchino Visconti, Michelangelo Antonioni, Roberto Rosselini, Werner Herzog, Andrei Tarkosvsky, Francois Truffaut, dan Ingmar Bergman menemani malam-malam saya saat saya masih menjadi mahasiswa seni di Rietveld Art Academy. Sampai sekarang saya masih ingin menonton film mereka baik termasuk film-film kontemporer.

Saya pertama kali mendengar tentang proyek Anda pada tahun 2015 atau 2016. Selain kesulitan yang Anda hadapi karena keterbatasan waktu, tempat, dan mencari tempat untuk dipotret, apa kesulitan besar lainnya dalam proses menyelesaikan “Kopi Susu”?

Kesulitan terbesar saya tentunya adalah memotret Hindia Belanda, sebuah negara, yang tidak lagi ada. Bagaimana cara memotret sejarah keluarga saya dari zaman yang telah hilang? Saya tidak ingin mengerjakan tema “tempo dulu” karena banyak orang lain yang telah melakukannya dalam bentuk fotografi, film, atau sastra. Selain itu, rasanya kurang tepat jika saya memulai dengan tema itu. Saya ingin membentuk visual-visual yang dirasakan dari pengalaman keturunan generasi kedua orang Indo dan itu adalah cerita saya yang terpisah dari cerita orang tua saya. Saya ingin menceritakan pengalaman keluarga Indo saya, bagaimana itu mempengaruhi hidup saya walaupun saya tidak ada di Indonesia pada zaman pendudukan Jepang, pada saat Bersiap (periode pasca Indonesia menyatakan kemerdekan), dan pada saat dipaksa meninggalkan tanah air.

Jadi saya mencari imaji-imaji yang hanya muncul pada saat saya melakukan perjalanan, ketika saya larut dalam saujana, dan pada saat saya bertemu dengan orang-orang di perjalanan tersebut: imaji-imaji yang datang ke saya dan tak mampu saya cari.

Ini merupakan cara bekerja yang membuat saya frustrasi. Saya dapat menghabiskan beberapa hari tanpa memotret. Ini juga membuat saya merasa tidak nyaman dan bertanya-tanya apakah saya dapat menyelesaikan “Kopi Susu” sama sekali. Ini yang membuat proyek ini berlangsung dengan cukup lama sampai saya akhirnya dapat menyatakan bahwa “Kopi Susu” telah selesai.

Jika saya melihat karya Anda yang lain, kita langsung dapat melihat bahwa “Kopi Susu” memiliki elemen yang berbeda. Yang pertama itu diambil dengan warna, dan yang kedua jarang ada portret yang Anda ambil. Apakah ini memang sengaja dilakukan karena Anda ingin merepresentasikan sebuah ingatan?

Saya ingin memotret sesuatu yang personal tapi bukan privat. Memang ada batas yang tipis antara keduanya. Dengan mengambil potret yang lebih universal, tanpa wajah yang jelas atau serupa seseorang, dan diambil dari belakang. Saya ingin mereka yang melihat untuk mengacu kepada sebuah metafora atau imaji tentang nenek moyang, persaudaraan, atau cinta seorang ibu.

Saya mengambil foto berwarna karena saya tidak ingin memotret dengan tema “tempo dulu”, selain itu sebelum saya mulai memotret “Kopi Susu” saya telah memutuskan untuk mengambilnya dengan warna dan bukan dengan hitam putih yang lebih abstrak atau lebih sastrawi. Menurut saya warna menyatakan tentang keadaan sekarang, dan membuat jarak dengan mereka yang melihat lebih dekat. Dengan menggunakan warna, saya dapat menceritakan cerita saya sebagai generasi kedua Indo. Selain itu saya juga senang untuk meninggalkan Bahasa dari fotografi hitam putih, ini juga membebaskan saya sebagai seorang fotografer. Saya menyukai nuansa, kehidupan, dan kilauan berbagai warna yang hadir dalam “Kopi Susu”

Pada wawancara di situs Ton Hendriks, saya membaca bahwa Anda bekerja dengan Victor Levie, seorang desainer buku untuk melakukan editing. Ini merupakan pendekatan yang tidak lazim, namun menurut saya berhasil. Hubungan seperti apa yang diperlukan antara seorang fotografer dan seorang editor dalam membuat sebuah photobook?

Bekerja bersama Victor Levie, seorang desainer dan pembuat buku, adalah bagian yang penting dalam seluruh prosesnya. Dia adalah seorang desainer yang cakap dan teman baik saya selama 25 tahun. Latar belakangnya sebagai Yahudi juga membantu dalam proses pembuatan “Kopi Susu” karena dia mampu mengerti ide tentang kehilangan akar dan beban yang dipikul oleh generasi kedua orang Yahudi, Indo, Arab, dan lainnya. Dia juga mampu untuk membaca imaji-imaji yang saya tampilkan dengan lebih mudah, ia mengetahu imaji mana yang pantas masuk, mana yang terlalu literal, dan mana yang menjadi bagian penting dari edit yang telah saya susun dan yang ia susun setelahnya. Pengalaman bekerja sama dengannya adalah pengalaman yang mengajarkan saya bahwa tidak ada kita harus terus mencari susunan yang paling sesuai. Menurut saya ini adalah hal yang paling penting sebagai fotografer, bahwa kita harus bisa melepaskan kemelekatan kita terhadap susunan yang kaku: beri ruang dan nafas terhadap foto-foto kita dan biarkan mereka hadir kembali dengan tafsiran-tafsiran yang baru.

Apakah ada hal lain yang ingin Anda sampaikan kepada para fotografer Indonesia?

Saya berharap saya dapat datang kembali ke Indonesia dan berbicara dengan kalian, melihat karya kalian, dan menunjukkan secara langsung apa yang saya maksud dalam wawancara ini dengan berbagai contoh dan karya saya. Sayangnya kesehatan saya tidak mengizinkan itu dan ada kemungkinan saya tidak bisa datang ke Indonesia lagi.

Saya rasa waktu adalah hal yang paling penting dalam mengerjakan sebuah karya personal yang melampaui hal-hal yang privat. Karya personal mampu melampaui berbagai hal-hal literal yang muncul, ini dapat dilakukan dengan menambahkan berbagai lapisan dalam imaji, sebuah proses yang membutuhkan waktu. Untuk mengambil sebuah gambar, melihatnya dengan dekat, mencari tahu apakah karya ini memiliki elemen yang sesuai, apakah ia memiliki misteri yang dapat kita rasakan, dan apakah imaji ini memilki nilai yang mampu melampaui apa yang ditampilkan?

Ini mungkin hal yang mendorong saya bekerja, secara sebagian besar, dengan menggunakan kamera rolleiflex dan film dengan keterbatasan jumlah frame. Hal yang sama pun saya lakukan jika saya memotret secara digital, saya menahan diri untuk tidak menekan rana dan hanya melihat apa yang terjadi selanjutnya. Saya rasa saya memang terlalu romantis untuk hal seperti ini

Terima kasih atas ketertarikannya terhadap “Kopi Susu”. Saya sangat senang dan saya berharap yang terbaik untuk karier, hidup, karya, dan semua yang penting untuk Anda.

Rosa Verhoeve, Amsterdam, 25-05-2018

___

Tell us about how you view Indonesia and Indonesians before, during, and after Kopi Susu?

For long, Indonesia and its inhabitants were only part of family stories, some sort of mystery land I fabricated in my mind as a young girl already. My grandmother was Indonesian, my mother was born in Sukabumi, my father lived for 12 years in Jakarta and both my sisters were born there…but not me. I was born in a barren new neighborhood in Amstelveen, a small town close to Amsterdam. So I only grew up with stories about a faraway exotic country, the Dutch East Indies, that no longer existed, but became the Republic Indonesia.

All these stories fed my imagination and longing to go there and see that unknown country for myself. This strong curiosity, and wanting to find out about Indonesia and the Indonesians MYSELF, unplugged from the stories of others, is the actual cornerstone of my project Kopi Susu. Or, as I write in the preface of the book itself: “With Kopi Susu I wanted to crack open my parents’ East Indies of nostalgia. By taking my own view and experience as a starting point, I deliberately did not want to backtrack my Indo-European roots.”

During my first trip to Indonesia, which was already in the nineties, I felt like a true Westerner, a tourist and outsider. I did not speak any Bahasa Indonesia, I travelled together with my then boyfriend, which made things really different: it kept us in our own little bubble (my advice now: always travel alone!). But when an old Javanese lady in a minibus instantly recognized me as a “Kopi Susu”, an Indo, something cracked open inside of me: part of me did belong in Indonesia! And it made me proud, irrationally happy even. With my white skin, reddish hair and green eyes, I somehow belong to the country of my ancestors…

Twenty years later I embarked on my project Kopi Susu (don’t ask me why it took me so long; other countries, others stories beckoned me first). This time, I travelled alone, already spoke basic Bahasa Indonesia and stayed as much as possible with local Indonesians. I also taught short master classes Storytelling to young aspiring photographers. For the first time, I befriended Indonesians, talked about their actual lives with them, learning about their dreams, hopes and ambitions. And with it, I came to understand more about Indonesia, which became more and more familiar to me.

When I first saw the images in Kopi Susu, I knew that this is made by a European, there’s a certain sensibility to it. Do you agree with it and where do you think that your view originated from?

My work has always had a certain kind of sensibility. Maybe, because this is part of whom I am, my character. Growing up in a family where life has been hitting hard due to war, loss and personal grief, it made me, from an early age, very sensitive to “read” other people’s behavior and moods. I think this has also influenced my work as a photographer, where one constantly is scanning the environment.

Also, I think my way of seeing has been influenced by European film and its directors. Great masters like Federico Fellini, Luchino Visconti, Michelangelo Antonioni, Roberto Rosselini, Werner Herzog, Andrei Tarkosvsky, Francois Truffaut, Ingmar Bergman, which movies filled my evenings as a young art student at the Rietveld Art Academy. I wanted to see all of their movies! And contemporary movies still are until today.

I heard about your project around 2015 or 2016, aside from the time and space constraints as well as navigating Indonesia to find the place that you want to photograph, what is your biggest difficulty in finishing this project?

The biggest difficulty was photographing a world, which was already long gone. The Dutch East-Indies, as a country, did no longer exist. How to photograph a family history from an era that has fallen into ruins? I did not want to work with the theme “tempo dulu”. Others had done this before me, in photography, in film, in literature and it felt not the right starting point for me. I wanted to visualize what the second generation Indo’s experience all the time from their heritage: what is MY story, separate from my parent’s history, my Indo family experiences, how has it influenced MY life, even though I have not been in Indonesia during the Japanese occupation and its war camps, have not lived through the Bersiap, have not been forced to leave that beloved motherland?

So I went looking for images that only showed themselves by walking, by immersing myself in the landscape, the people I’ve met on the way: the images that came to me and I could not search for.

That was sometimes a very frustrating way of working. For days I could wander around and nothing came…at times it made me very unsecure if I could ever finish my project Kopi Susu at all. And maybe that’s why it took me so long to finally say: “yes, it is ready”, as well…

Looking at your other projects, one can see that Kopi Susu contains different elements. First it’s in color and secondly, there’s a very little portrait that you took. Is this a deliberate choice because you wanted to represent a memory? And can you tell us more about this approach?

I wanted to photograph the personal and not the private. There’s a thin line there…By photographing a more “universal” portrait, without distinct faces or resemblances, often from the back, I wanted to refer to a certain image or atmosphere only. Like “the ancestor”, “the sisterhood”, or “motherly love”. I worked around metaphors more than I did around actual people or facts.

About working in color for Kopi Susu is because I wanted to avoid any notion to the so-called “tempo dulu” I referred to earlier, I decided from the very start that Kopi Susu would be in color and not in the more abstract or literary language of black & white. Color is about the NOW, about a certain reference to the present day we are living in. And by using color, I could better depict my story as a second generation Indo. I felt pretty excited to leave the language of black & white film, after so many projects in b&w. And in a way it also liberated me as a photographer. I loved the nuance, life and luminosity of color coming into my work.

On Ton Hendriks interview, I read that (through Google translate) that you’re working with Victor Levie to edit and sequence your work. While this is unconventional, it certainly is working. On your view, what kind of relationship does a photographer and an editor should have especially in creating a photo book?

Working with Victor Levie, a renowned designer and bookmaker, has been very important in the whole process. Not because he is such a good designer (he is), but also because we are close friends for 25 years already. Victor, coming from a Jewish background, could very much relate to the notion of “up rootedness” often seen in the lives of second generations of Jews, Indo’s, Arabs etc. etc. We all carry that scar. So he could read my images more easily, knew which one worked, which one was far to literal, and which ones were the so-called “cornerstones” in the sequences I’ve made. And later, the sequences he made after me. It was a constant shifting and shuffling, which greatly inspired me.

I really think that, as a photographer, one has to let go of the fixed edit: give it air, let it breath, make it come alive again in a whole different way.

Is there anything else that you wanted to say to Indonesian photographers?

I was so hoping I could come to Indonesia and talk to you, see your work, show you all what I have been writing about above these lines with real examples and photographs. Unfortunately, my health is keeping me at home and maybe I can never travel back to your wonderful country again.

Time is very important, if you want to tell personal stories that transcend the private.

Because one has to get past the literal. It has to do with adding layer after layer into your images, and that really takes time. Taking a picture (not 200), closely looking at it, does it work, does it contain some mystery as well, something that can only be felt, but not seen, can it transcend?  Maybe that’s the reason why I worked, most of the time, with my old Rolleiflex and on film: one is already restricted to 12 images only. But even working digitally, you have to sometimes contain yourself while shooting. Not pushing that button all the time, but wait and see what happens next…

I am real romantic, I guess…

Thank you for your time and interest in Kopi Susu. This greatly moves me. And I am wishing you all the best along your career, in your life, with your art and all that is important and dear to you.

Rosa Verhoeve, Amsterdam, 25-05-2018

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.